Minggu, 18 Januari 2015

ESAI Penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL) Liar pada Kawasan Pasar Johar Semarang

Sektor perdagangan merupakan salah satu sektor yang memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap hasil pendapatan daerah suatu kota. Sektor perdagangan dibagi menjadi 2, antara lain sektor formal dan sektor informal. Namun, kurangnya lahan pekerjaan pada sektor formal menyebabkan munculnya sektor informal.  Menurut Mustafa (2008) sektor informal terjadi karena sektor formal tidak mampu menyerap seluruh angkatan kerja sehingga menyebabkan sektor informal melimpah di perkotaan. Sektor informal sering diidentifikasikan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh pedagangan kaki lima. Para PKL biasa ditemui pada pusat perbelanjaan di perkotaan. Tak dapat dipungkiri di sekitar pusat perbelanjaan tersebut banyak terdapat pedagang kaki lima yang memakan bahu jalan atau trotoar. Hal tersebut tentunya menimbulkan berbagai permasalahan yang berdampak kepada pengguna jalan. Keberadaan PKL liar menimbulkan berbagai dampak negatif seperti membuat kemacetan, merusak keindahan atau estetika kota, dan menggeser fungsi ruang publik khususnya trotar. Untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya kerja sama antar pemerintah dan masyarakat sekitar untuk melakukan penertiban kepada PKL illegal yang mengganggu kenyamanan tersebut.
Salah satu bukti bahwa banyak PKL liar di sekitar pusat perdagangan dapat dilihat di sekitar Pasar Johar. Pada kawasan tersebut banyak PKL liar yang berjualan di trotoar yang menimbulkan berbagai dampak negatif. Pertama, keberadaan PKL di sekitar Pasar Johar tepatnya di sepanjang Jalan H. Agus Salim seringkali membuat kemacetan lalu lintas. Hal tersebut dapat dilihat pada sore hari ketika arus lalu lintas mulai padat. Kemacetan disebabkan karena jalan menjadi sempit disebabkan pada bahu jalan terdapat banyak PKL liar yang berjualan.  Walau tidak dapat dipungkiri keberadaan PKL tersebut disebabkan karena kurangnya penyediaan lahan oleh pemerintah terhadap para PKL, sehingga menyebabkan banyak PKL yang berjualan di pinggir jalan. Banyaknya PKL liar yang berjualan di sekitar Pasar Johar disebabkan karena letak yang strategis, terlebih dekat dengan pasar tradisional yang mayorita dikunjungi banyak pembeli.  Keberadaan  PKL liar juga menyebabkan munculnya parkir liar yang disediakan bagi warga yang berbelanja terhadap PKL tersebut.  Hal tersebut sangat berdampak kepada keadaan lalu lintas Pasar Johar sehingga seringkali banyak masyarakat yang mengeluhkan keberadaan PKL liar tersebut.
Kedua adalah mengenai estetika di dalam kota. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia menghasilkan limbah perharinya. Termasuk PKL yang berjualan pastilah mereka memiliki sampah yang banyak. Namun yang disayangkan adalah para PKL tidak dapat menempatkan sampah-sampah itu dengan baik. Sehingga banyak PKL yang membuang sampah di sembarang tempat, bahkan di lokasi mereka berjualan. Hal ini menjadikan lokasi semakin kotor dan tidak sehat, serta dapat menurunkan kualitas kota itu sendiri. Selain itu, adanya tenda bongkar-pasang menambah kesan kumuh para PKL. Hal tersebut menyebabkan kualitas kota menurun dikarenakan estetika kota yang berkurang.
  Dampak yang terakhir adalah PKL menggeser fungsi ruang publik terutama di trotoar. Dapat kita kita lihat sendiri, bahwa kebanyakan dari PKL memakan badan jalan atau trotoar untuk digunakan sebagai tempat membuka lapak. Sedangkan yang kita ketahui, bahwa fungsi dari trotoar adalah sebagai tempat untuk para pejalan kaki. Apabila trotoar tidak difungsikan sebagaimana fungsinya, maka para pejalan kaki juga terkena imbasnya, yaitu berjalan di pinggir jalan padahal berjalan di dekat badan jalan sangat berbahaya bagi para pejalan kaki. Namun mereka terpaksa, karena mereka tidak mungkin jalan dimana para PKL sedang membuka lapaknya. Tidak hanya di trotoar, PKL bahkan berjualan di badan jalan, sedangkan dapat diketahui itu jalan adalah ruang bagi para pengendara. Jika PKL berjualan di badan jalan, maka akan menimbulkan kemacetan.
Segala peraturan mengenai Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Semarang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah No. 11 Tahun 2000. Dalam Perda tersebut disebutkan bahwa pemerintah telah menyediakan lahan bagi pedagang kaki lima dan untuk menyewa lahan tersebut dikenakan biaya retribusi sesuai ketentuan yang berlaku. Disebutkan juga bahwa untuk pedagang yang ingin berjualan pada lahan pemerintah tersebut harus memiliki ijin tertulis dari Walikota sesuai dengan Bab 3 Pasal 3 Ayat 1 tentang pengaturan tempat usaha. Namun faktanya, di sekitar Pasar Johar masih banyak terdapat PKL liar yang secara hukum melanggar aturan dalam perda tersebut.
Menurut Rachbini dan Hamid dalam (Mustafa, 2008) PKL yang berada di perkotaan merupakan jenis usaha yang sering disentuh dengan kebijakan pemerintah. Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah untuk mengatasi PKL liar yang berada di sekitar Pasar Johar. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah mengerahkan organisasi pelaksana seperti Satpol PP dan dinas pasar untuk melakukan penertiban. Penertiban dilakukan karena para pedagang sudah diingatkan berkali-kali oleh para petugas namun peringatan tersebut tidak dilakukan (Putra, 2014).  Hal tersebut menunjukkan bahwa para pedagang tidak takut kepada Satpol PP dan Dinas Pasar. Mereka menganggap bahwa penertiban yang dilakukan oleh organisasi pelaksana tersebut merupakan hal yang biasa sehingga sebagian dari mereka berani untuk kembali berdagang.
Pemkot perlu mengeluarkan kebijakan yang sama-sama menguntungkan sehingga PKL merasa dilindungi dan tidak dirugikan. Salah satu upaya yang menguntungkan para PKL adalah dengan menerapkan kebijakan relokasi PKL ke lahan pemerintah yang strategis.Namun seringkali, dalam menentukan tempat relokasi Pemerintah terkesan bekerja sepihak sebagai agen tunggal dalam penyelesaian masalah. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak diikutsertakan atau dilibatkannya perwakilan dari PKL untuk menentukan tempat dan konsep relokasi sehingga banyak PKL yang menolak kebijakan relokasi karena adanya asumsi bahwa ada kepentingan dalam kebijakan tersebut. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi PKL liar adalah melakukan penertiban secara berkala. Penertiban dilakukan beberapa hari sekali, jika perlu di sekitar area pkl liar berjualan dibangun pos yang dijaga oleh petugas kemanaan. Hal tersebut akan membuat para PKL di sekitar pasar Johar enggan kembali ke tempat biasa mereka berjualan.

 Keberadaan akan PKL liar di kawasan Johar merupakan permasalahan yang sudah terjadi sejak lama. Eksistensi PKL liar di sekitar Pasar Johar tentunya juga menimbulkan berbagai dampak negatif. Dampak yang ditimbulkan yaitu membuat kemacetan, merusak estetika kota serta menggeser fung si ruang publik. Dalam mengatasi keberadaan PKL liar yang meresahkan diperlukan kerja sama antara para pedagang dengan Pemkot untuk bersama-bersama menemukan solusi yang tepat. Oleh karena itu, pada saat merencanakan sebuah kebijakan, pemerintah harus melakukan pendekatan terhadap para pedagang sehingga dapat menemukan solusi bersama yang menguntungkan kedua belah pihak. 



Referensi
Mustafa, A. A. (2008). Transformasi Sosial Masyarakat Marginal (p. 196). Malang: Inspire Indonesia.
Putra, A. A. (2014). Membandel, 200 PKL di Semarang Ditertibkan Satpol PP. Detiknews.com. Semarang. Retrieved from http://news.detik.com/read/2014/03/24/191027/2535337/1536/membandel-200-pkl-di-semarang-ditertibkan-satpol-pp

Pencegahan Pembangunan Perumahan pada Lahan Pertanian

Tugas Besar Bahasa Indonesia – Menulis Karya Tulis Ilmiah 

(Jumlah Kata : 1881 Kata)

                                              




 

Dosen Pengampu : Ir. Jawoto Sih Setyono, MDP
                                                                                    


Disusun Oleh :

Hisyam Noor Nugroho                 21040114120050
Tingkas Priambodo                        21040114140082
Rahardian Maulana                       21040114130084
Kelompok 1
Kelas B





Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota

Fakultas Teknik Universitas Diponegoro

Tahun 2015


Pencegahan Pembangunan Perumahan pada Lahan Pertanian

Hisyam Noor Nugroho
21040114120050
Tingkas Priambodo
21040114140082
Rahardian Maulana
21040114130084


Abstrak
Artikel ini membahas mengenai solusi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya pembangunan perumahan pada lahan pertanian. Tingkat kepadatan penduduk di perkotaan serta pertumbuhan penduduk yang cepat menyebabkan kebutuhan akan tempat tinggal juga meningkat. Namun seiring dengan perkembangannya, lahan di perkotaan semakin terbatas. Keterbatasan lahan tersebut menyebabkan banyak pihak yang melakukan pembangunan perumahan pada lahan pertanian sehingga banyak menimbulkan permasalahan dalam segala aspek. Beberapa solusi dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut sehingga lahan pertanian akan tetap terjaga sesuai fungsinya.
Kata Kunci: alih fungsi lahan, permukiman, perumahan, lahan pertanian

Pendahuluan
Peningkatan penduduk yang pesat mengakibatkan kebutuhan akan tempat tinggal juga meningkat. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan kebutuhan lahan untuk pembangunan perumahan tidak bisa dihindarkan. Namun, karena keterbatasan lahan yang ada di Indonesia mengakibatkan terjadinya pembangunan perumahan pada lahan pertanian yang berakibat kurangnya produktivitas akan makanan pokok. Untuk itu dibutuhkan solusi yang tepat agar terjadi keseimbangan antara lahan pertanian dengan perumahan serta kerjasama antara masyarakat dengan pemerintah.
Akhir-akhir ini banyak lahan pertanian yang dibangun menjadi perumahan untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal. Hal tersebut pastinya akan menimbulkan berbagai permasalahan dari berbagai aspek. Dalam aspek sosial, pembangunan perumahan pada lahan pertanian akan menyebabkan petani kehilangan pekerjaannya. Sedangkan pada aspek lingkungan, akan menyebabkan ketidakseimbangan antara lahan pertanian dengan perumahan.
Apabila lahan pertanian terus berkurang, maka produksi bahan pangan pun berkurang, sehingga mengakibatkan peningkatan import bahan pangan dari luar negeri. Dengan demikian pemerintah terlalu banyak mengeluarkan dana hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan. Sementara itu pemerintah kurang bertindak tegas akan perilaku para developer perumahan yang membangun perumahan di lahan pertanian.                         
Pencegahan pembangunan perumahan pada lahan pertanian harus dilakukan dengan solusi yang terpadu, antara lain pembangunan rumah secara vertikal, sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya lahan pertanian, dan melakukan revisi RTRW khususnya pada penyesuaian peta penggunaan lahan dengan kondisi saat ini. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama antara masyarakat dan pemerintah untuk mencegah pembangunan perumahan pada lahan pertanian. Melalui beberapa solusi tersebut diharapkan dapat mengurangi penggunaan lahan pertanian untuk dijadikan perumahan.
Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan tentang pentingnya lahan pertanian bagi masyarakat dan pencegahan terhadap pembangunan perumahan yang terjadi di perkotaan. Karena adanya lahan pertanian berkaitan dengan berbagai aspek lainnya seperti sosial,ekonomi, dan lingkungan. Yang mana jika aspek yang satu dengan aspek yang lain tidak berkaitan maka akan menimbulkan berbagai permasalahan. Artikel ini menjelaskan tentang bagaimana mencegah pembangunan perumahan yang terjadi pada lahan pertanian dengan solusi-solusi terpadu yang dijabarkan pada paragraf di atas.
Pembangunan Perumahan secara Vertikal
Lahan pertanian merupakan bagian yang penting bagi kehidupan masyarakat terutama yang bekerja sebagai petani. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memengaruhi perekonomian Indonesia. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa lahan pertanian di perkotaan cenderung digunakan sebagai lahan untuk pemabangunan perumahan. Seperti contoh kasus di Jawa Tengah bahwa ribuan hektare lahan pertanian telah beralih fungsi, selain akibat faktor alam karena terendam banjir air laut pasang (Rob) alih fungsi  disebabkan oleh kebutuhan lain seperti sarana dan prasarana perkantoran, perumahan, ruang bisnis dan industri (Khaddaf, 2013). Pada kawasan perkotaan, dominan pembangunan adalah 50-70% bangunan hunian landed (rumah tinggal) dan apabila dikalkulasikan lahan diperkotaan habis karena membangunan hunian landed, dan meskipun lahan yang tersisa makin sedikit, developer (pengembang) tetap membangun hunian/perumahan landed, dan ini semakin membuat lahan yang tidak terbangun semakin sedikit (Anonim, 2012). Hal tersebut akan menyebabkan kurangnya lahan untuk dibangun permukiman yang pada akhirnya menyebabkan banyak sekali pengembang yang menggunakan lahan pertanian untuk dibangun perumahan. Tindakan tersebut harus dicegah agar tidak menimbulkan berbagai permasalahan. Seperti yang disebutkan di bagian pendahuluan, salah satu upaya untuk mencegah pembangunan perumahan pada lahan pertanian adalah dengan membangun perumahan secara vertikal. Pembangunan rumah secara vertikal adalah upaya alternatif dalam memenuhi kebutuhan perumahan dan permukiman tanpa mengubah fungsi lahan di perkotaan.

Perumahan vertikal dapat berbentuk rumah susun, apartemen, kondominium, dan lain sebagainya apabila dibangun secara vertikal dan fungsi utamanya sebagai tempat tinggal. Dengan melakukan pembangunan perumahan vertikal, maka dapat menghemat lahan yang tidak terbangun kurang lebih setengah dari total luas keseluruhan luas lahan (Anonim, 2012). Keterbatasan lahan merupakan masalah utama dalam pengembangan hunian di perkotaan. Penggunahan lahan pertanian untuk mewujudkan hunian adalah hal yang tidak dianjurkan, karena menyebabkan berbagai permasalahan terutama pada sektor pertanian. Pembangunan rumah secara vertikal dapat  mengurangi penggunaan lahan yang berlebihan sehingga para pengembang tidak memerlukan lahan yang luas atau menggunakan lahan pertanian untuk menyediakan tempat tinggal.
Selain dipengaruhi oleh keterbatasan lahan, pembangunan rumah secara vertikal dilatarbelakangi oleh tingginya kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal. Seperti yang kita tahu, tingkat urbanisasi dari tahun ke tahun selalu meningkat terutama di kota-kota besar. Hal tersebut sangat mendukung untuk dilakukannya pembangunan perumahan secara vertikal. Selain itu, pembangunan rumah secara vertikal memiliki beberapa keunggulan seperti mengatasi kelangkaan akan tempat tinggal  dan meningkatkan daya  guna  dan  hasil  guna  tanah di daerah  perkotaan  dengan  memperhatikan  kelestarian sumber  daya  alam  dan  menciptakan  lingkungan pemukiman yang  seimbang. Selain itu, pembangunan rumah secara vertikal dapat meminimalisir keberadaan kawasan-kawasan kumuh yang mengganggu estetika kota.
Adapun persyaratan dan aturan dalam pembangunan rumah secara vertikal. Dalam hal ini, pembangunan rumah secara vertikal diibaratkan dengan rumah susun. Segala aturan dan persyaratan dalam pembangunan rumah susun sudah ditetapkan dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Dalam penjelasan ayat dalam Undang-undang tersebut dikatakan bahwa persyaratan teknis pembangunan rumah susun antara lain meliputi:
a. tata bangunan yang meliputi persyaratan peruntukan lokasi serta intensitas dan arsitektur bangunan; dan
b. keandalan bangunan yang meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.
Oleh karena itu, selain memanfaatkan lahan secara maksimal, pembangunan rumah secara vertikal diharapkan dapat sesuai dengan aturan yang ditetapkan dengan memperhatikan segala aspek sehingga dapat terwujud hunian yang nyaman. Upaya pembangunan rumah secara vertikal harus dapat mengatasi keterbatasan lahan sehingga tidak terjadi alih fungsi lahan sebagaimana banyak terjadi di perkotaan, seperti alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan yang diharapkan tidak akan terjadi di masa yang akan datang karena dapat menimbulkan berbagai dampak negatif.
Sosialisasi kepada Masyarakat akan Pentingnya Lahan Pertanian
Mengingat dampak yang ditimbulkan oleh adanya alih fungsi lahan pertanian yang sangat luas, perlu diadakan upaya-upaya pengendaliannya. Diperlukan sebuah system yang melibatkan peraturan dan pelakunya agar saling berkaitan tujuannya. Salah satu upaya untuk mencegah pembangunan perumahan pada lahan pertanian adalah sosialisasi kepada masyarakat akan pentingna lahan pertanian. Sosialisasi perlindungan lahan pertanian berkelanjutan yang terdapat pada UU No. 41 Tahun 2009. Selain sebagai media menyebarkan informasi, sosialisasi menjadi media untuk mengetahui seberapa tingkat pemahaman masyarakat tentang perlindungan lahan pertanian agar tidak dialih fungsikan menjadi permukiman. Upaya ini diberikan kepada masyarakat terutama kelompok tani, untuk memperkokoh kelembagaan kelompok tani.
Sesuai dengan UU No. 41 Tahun 2009 memutuskan bahwa lahan pertanian merupakan bagian dari bumi yang dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat. Negara Indonesia adalah Negara dengan mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai petani, sudah selayaknya Negara menjamin penyediaan lahan pertanian. Maka dari itu Negara berkewajiban memberikan pekerjaan dan penghidupan dengan mengedepankan prinsip kebersamaan, efisien, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan (Anita, Bambang, & Purnaweni, 2012). Sehubungan dengan dengan hal ini, perlu diadakan sosialisasi kepada kelompok tani guna meningkatkan keseimbangan kelompok tani. Dan diharapkan dengan sosialisasi tersebut kelompok tani dapat menanggapi secara positif tentang isu konversi lahan pertanian sebagai permukiman. Kemudian kelompok tani tersebut dapat mempertahankan lahannya agar produksi pangan terus berlanjut.
Dalam upaya mencegah konversi lahan pertanian menjadi permukiman perumahan diperlukan strategi untuk menentukan kebijakan. Dengan melakukan sosialisasi dan diskusi dengan pihak yang memiliki kuasa dan kepentingan dibidang ini, seperti Gubernur, Bupati, Dinas Pertanian, Kepala Sub Bidang Penataan Ruang Bappeda. Dengan strategi ini dapat merujuk kepada beberapa aspek seperti aspek ekologi yang menunjukan bahwa perlindungan lahan pertanian berkaitan dengan kelestarian lingkungan (Zakaria, 2013). Melakukan pendekatan ini, diharapkan pemerintah dapat memberikan kebijakan yang lebih baik dalam hal perlindungan lahan pertanian. Karena pada faktanya masih banyak lahan pertanian yang dikonversi menjadi permukiman. Permerintah juga belum bisa bekerja sama dan mengontrol pihak swasta. Pada kenyataannya pihak swasta atau pengembang pertumahan swasta lebih mendominasi pembangunan.
Pertumbuhan penduduk yang cepat menjadi problematika sekarang ini. Dikarenakan semakin bertambahnya penduduk semakin meningkat kebutuhan tempat tinggal dan kebutuhan pangan. Namun tragisnya lahan pertanian yang menjadi sumber pangan dialih fungsikan menjadi permukiman. Maka dari itu perlu juga diadakan sosialisasi Keluarga Berencana, untuk mengkontrol pertumbuhan penduduk. Selanjutnya dilakukan pendekatan kepada masyarakat secara mendalam tentang pentingnya lahan pertanian. Karena sekarang ini lahan pertanian di Indonesia semakin menipis aibat pembangunan yang kurang terkontrol.
Revisi RTRW tentang Penyesuaian Penggunaan Lahan
Lahan pertanian merupakan sektor yang sangat penting, sektor ini mempunyai peran yang strategis dalam struktur pembangunan ekonomi nasional. Sektor ini juga sebagai sumber produktivitas pangan bagi masyarakat dan sebagai keseimbangan antara ruang terbuka hijau dengan permukiman. Kondisi lahan pertanian di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Berdasarkan data Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air (PLA) Kementerian Pertanian pada Tahun 2005 sekitar 187.720 Ha/tahun sawah beralih fungsi ke penggunaan non pertanian, terutama di Pulau Jawa. Konversi lahan sawah tidak hanya terjadi di Jawa, tapi juga di pulau-pulau besar lainnya. Provinsi Jambi misalnya, kehilangan lahan sawah sekitar 18.900 Ha pada tahun 2012 (Ridha, 2014). Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut yaitu dengan melakukan revisi RTRW oleh pemerintah dengan menyesuaikan peta penggunaan lahan. Seiring dengan berkembangnya waktu penggunaan lahan juga semakin beragam untuk itu dibutuhkan pembaruan terhadap peta penggunaan lahan agar dapat sesuai dengan kondisi yang ada saat ini.
Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah merupakan langkah terakhir jika pembangunan perumahan pada lahan pertanian terus berlanjut dan hal ini harus dipertimbangkan dengan matang agar tidak menimbulkan permasalahan baru. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah dapat menjadi kesempatan pemerintah bersama rakyat menentukan langkah dalam menyusun kebijakan dan pengaturan tata ruang yang berguna untuk kesejahteraan rakyat. Namun, pada saat ini penyusunan RTRW terlihat tidak transparan serta kurangnya inisiatif dari pemerintah untuk mendengar pendapat masyarakat (BCC, 2013). Hal ini dapat menimbulkan berbagai permasalahan seperti kasus yang terjadi akibat pembangunan perumahan pada lahan pertanian di Jawa Tengah. Seperti yang terjadi di Boyolali, Solo, Klaten, dan Karanganyar sekitar 2000 hingga 2500 hektar per tahun lahan pertanian digunakan untuk area permukiman (Kompas, 2014).
Untuk itu diperlukan perbaikan RTRW yang sesuai dengan masyarakat dan tidak bertentangan. Maka dari itu Rencana Tata Ruang Wilayah harus berkonsep produktif dan berkelanjutan. Seperti dalam penjelasan Pasal  2 huruf (a) PP no. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,  produktif dimaksudkan sebagai proses produksi dan distribusi yang berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat, sekaligus meningkatkan daya saing. Sementara berkelanjutan dimaksudkan sebagai kondisi kualitas lingkungan fisik yang dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya alam tak terbarukan. Produktif dan berkelanjutan bukanlah hal yang saling bertentangan namun akan saling menguatkan diantara keduanya. Dalam penyusunan RTRW harus disosialisasikan dengan masyarakat terlebih dahulu. Penyusunan RTRW tersebut menggunakan metode dalam penyusunan yang berbasis keruangan dengan cara mengkaji ulang terhadap RTRW yang ada, memperbaiki informasi- informasi yang diharapkan, lalu melakukan analisis indikator-indikator fisik (PSPPR UGM, 2011). Setelah melalui berbagai tahap dan metode maka diharapkan RTRW yang baru tersebut dapat mengurangi tingkat pembangunan perumahan pada lahan pertanian dan tidak bertentangan dengan masyarakat serta dapat berjalan dengan baik.
Kesimpulan
Peningkatan penduduk yang pesat tentunya akan menimbulkan kebutuhan akan tempat tinggal juga meningkat. Namun karena keterbatasan lahan yang ada di Indonesia mengakibatkan pembangunan lahan perumahan dilakukan pada lahan pertanian. Lahan pertanian merupakan sektor yang sangat penting yaitu sebagai produktivitas pangan di Indonesia dan sektor ini mempengaruhi berbagai aspek seperti ekonomi, sosial, dan lingkungan. Oleh karena itu hal tersebut harus dicegah dengan solusi yang tepat diantaranya yaitu dengan melakukan pembangunan rumah secara vertikal yang dapat menghemat penggunaan lahan, kemudian dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya lahan pertanian yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya para petani yang mempunyai lahan pertanian agar tidak menjual lahan pertaniannya dengan mudah mengigat akan pentingnya lahan tersebut. Jika masalah tersebut belum dapat teratasi, solusi terakhir yaitu dengan melakukan revisi RTRW tentang penyesuaian penggunaan lahan oleh pemerintah dengan kondisi saat ini bertujuan untuk menciptakan RTRW yang memperhatikan kesejahteraan masyarakat yang mempunyai konsep produktif dan berkelanjutan. Dari ketiga solusi tersebut diharapkan dapat menekan pembangunan perumahan pada lahan pertanian di Indonesia mengingat akan pentingnya peran lahan pertanian.

                  

Daftar Pustaka
Anita, M. F., Bambang, A. N., & Purnaweni, H. (2012). Analisis Prioritas Kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan di Kabupaten Magelang. Jurnal EKOSAINS, IV, 20–26.
Anonim. (2012). Perumahan Vertikal. Retrieved from https://indonesiadekabe.wordpress.com/tag/perumahan-vertikal/
BCC. (2013). RTRW Harus Menjaga Keamanan Ruang Produksi Rakyat. Borneo Climate Change. Retrieved from http://borneoclimatechange.org/berita-620-rtrw-dan-keamanan-ruang-produksi-rakyat.html
Khaddaf, A. (2013). Indonesia Memilih - Alih Fungsi Lahan Pertanian di Jateng Mengkhawatirkan. Retrieved from http://microsite.metrotvnews.com/indonesiamemilih/read/2013/09/05/194/179605/Alih-Fungsi-Lahan-Pertanian-di-Jateng-Mengkhawatirkan
Kompas. (2014). Lumbung Pangan Terancam - Kompas. Retrieved from http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/10/19/03144730/Lumbung.Pangan.Terancam
PSPPR UGM. (2011). Penyusunan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Magetan. Yogyakarta: PSPPR UGM. Retrieved from http://www.psppr.ugm.ac.id/portofolio/perencanaan-tata-ruang/39-penyusunan-revisi-rencana-tata-ruang-wilayah-kabupaten-magetan
Ridha, A. (2014). Penataan Ruang untuk Mencegah Alih Fungsi Lahan Pertanian. Retrieved from://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/10/19/03144730/Lumbung.Pangan.Terancam

Zakaria, A. K. (2013). Implementasi Sosialisasi Intensif Ekonomi dalam Pelaksanaan Program Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B), 137–149.

Karakteristik Berbagai Citra Satelit

1. SATELIT IKONOS

Satelit IKONOS adalah satelit resolusi tinggi yang dioperasikan oleh GeoEyeberasal dari bawah Lockheed Martin Corporation sebagai Commercial Remote Sensing System (CRSS) satelit. Pada April 1994 Lockheed diberi salah satu lisensi dari US Department of Commerce untuk satelit komersial citra resolusi tinggi. Pada tanggal 25 Oktober 1995 perusahaan mitra Space Imaging menerima lisensi dari Komisi Komunikasi Federal (FCC) untuk mengirimkan telemetri dari satelit di Bumi delapan-gigahertz band ExplorationSatellite Service. Sebelum memulai, Space Imaging mengubah nama untuk satelit IKONOS. IKONOS berasal dari bahasa Yunani yang berarti “gambar”.
Pada November 2000 Lockhead Martin menerima”Best of What’s New” Grand Award dalam kategori Penerbangan &Ruang Angkasa dari majalah PopularScience. Space Imaging diakuisisi oleh ORBIMAGE pada bulan September 2005. Perusahaan ini kemudian diganti namanya menjadi GeoEye. Aplikasinya dapat digunakan untuk pemetaan sumberdaya alam daerah pedalaman dan perkotaan,analisis bencana alam, kehutanan, pertanian, pertambangan, teknik konstruksi,pemetaan perpajakan, dan deteksi perubahan.

Karakteristik IKONOS :
Orbit :Sinkron putaran matahari
Inklinasi :  98.1 °
Kecepatan mengelilingi Bumi : 14.7 kali tiap 24 jam
Ketinggian : 681 kilometer
Masa Operasi : 7 tahun lebih
Resolusi spasial : 1 meter
Resolusi temporal :  3 hari
Dynamic Range (resolusi radiometrik): 11-bit per pixel
Resolusi pada Nadir (resolusi spektral) : 0,82 meter (panchromatic) 3,2 meter (multispectral)
Resolusi 26° Off-Nadir (resolusi spektral): 1,0 meter (panchromatic) 4,0 meter (multispectral)
Cakupan Citra : 11,3 kilometer pada nadir, 13,8 kilometer pada 26° off-nadir
Waktu Melintas Ekuator : Nominal 10:30 AM waktu matahari
Waktu Lintas Ulang : Sekitar 3 hari pada 40 ° garis lintang
Saluran Citra : Panchromatic, blue, green, red, near IR


2. SATELIT QUICKBIRD

Quickbird merupakan satelit penginderaan jauh yang diluncurkan pada tanggal 18 Oktober 2001 di California, U.S.A. Dan mulai memproduksi data pada bulan Mei 2002. Quickbird diluncurkan dengan 98ยบ orbit sun-synchronous dan misi pertama kali satelit ini adalah menampilkan citra digital resolusi tinggi untuk kebutuhan komersil yang berisi informasi geografi seperti sumber daya alam.
 Satelit Quickbird mampu untuk men-download citra dari stasiun three mid-latitude yaitu Jepang, Itali dan U.S (Colorado). Quickbird juga memperoleh data tutupan lahan atau kebutuhan lain untuk keperluan GIS berdasarkan kemampuan Quickbird untuk menyimpan data dalam ukuran besar dengan resolusi tertinggi dan medium-inclination, non – polar orbit. Setelah meng-orbit selama 90 hari, Quickbird akan memperoleh citra dengan nilai resolusi, Panchromatic sebesar 61 cm dan Multispectral sebesar 2.44 meter. Pada resolusi 61 cm bangunan, jembatan, jalan-jalan serta berbagai infrastruktur lain dapat terlihat secara detail
Quickbird dapat digunakan untuk berbagai aplikasi terutama dalam hal perolehan data yang memuat infrastruktur, sumber daya alam bahkan untuk keperluan pengelolaan tanah (manajemen, pajak). Sedangkan untuk keperluan industri, citra Quickbird dapat memperoleh cakupan daerah yang cukup luas sebesar 16.5 km atau 10.3 mil.

Karaketeristik Quickbird :
Orbit: Sinkron putaran matahari
Inklinasi : 97,2°
Kecepatan pada Orbit: 7.1 Km/detik (25,560 Km/jam)
Kecepatan diatas bumi: 6.8 km/detik
Akurasi : 23 meter horizontal (CE90%)
Ketinggian: 450 kilometer
Resolusi spasial : 0.61 meter
Resolusi temporal : 3-7 hari.
Resolusi Pankromatik : 61 cm (nadir) to 72 cm (25° off-nadir)
Resolusi Multi Spektral: 2.44 m (nadir) to 2.88 m (25° off-nadir))
Cakupan Citra: 16.5 Km x 16.5 Km at nadir
Waktu Melintas Ekuato: 10:30 AM
Waktu Lintas Ulang: 1-3.5 hari, tergantung latitude (30° off-nadir)

3. SATELIT NOAA
Satelit NOAA (National Ocean and Atmospheric Administration) adalah satelit cuaca yang dioperasikan oleh National Ocean and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika. Menurut orbit satelit sateit NOAA bisa dibagi menjadi dua macam yaitu orbit geostasioner dan orbit polar. Satelit NOAA dengan orbit geostasioner adalah satelit yang memonitor belahan bumi bagian barat pada ketinggian 22.240 mil di atas permukaan bumi, sedangkan satelit NOAA dengan orbit polar adalah satelit yang memonitor bumi pada ketinggian 540 mil di atas permukaan bumi (NOAA 2008).
Satelit NOAA termasuk kedalam satelit sistem pasif dimana sumber tenaga utama untuk mengirim gelombang elektromagnetik berasal dari matahari. Pada umumnya satelit NOAA merekam suatu wilayah sebanyak 2 kali waktu siang dan 2 kali pada malam hari. Saat ini di atmosfer Indonesia melintas setiap hari lima seri NOAA yaitu NOAA 12, NOAA 14, NOAA 15, NOAA 16, NOAA 17. Stasiun bumi NOAA yang berada di Indonesia terletak di LAPAN, Kantor BRKP, Bitung, dan SEACORM. Aplikasi dari satelit NOAA adalah pemetaan distribusi hujan salju, pemantauan terhadap banjir, pemetaan vegetasi, analisa kelembaban tanah secara regional, pemetaan distribusi bahan bakar yang menyebabkan kebakaran liar (wildfire fuel mapping), pendeteksian kebakaran, pemantauan badai gurun dan macam-macam aplikasi yang berkenaan dengan gejala geografis, misalnya gunung api meletus.

Karakteristik Satelit NOAA :
Dimensi Tinggi : 165 in (4,19m)
Diameter : 74 in (1,88m)
Solar array area : 180,6 ft² (16,8 m²)
Berat: 4920 lbs (2231,7 kg)
Daya (Hidup atau Mati): 879,9 W
Ketinggian orbit : 870 km
Inklinasi : 98,856˚
Resolusi spatial : 30m x 30m
Resolusi temporal : 2 x 24 jam (sehari semalam)
Luas Liputan : 16,5 x 16,5 km2
Berat Peralatan : 982,5 lbs (445,6 kg)
Daya Peralatan : 450 W

4. SATELIT LANDSAT

Landsat (Land Satellites) merupakan satelit sumberdaya bumi yang paling sering digunakan.  Pada mulanya bernama ERTS-1 (Earth Resources Technology Satellite). Pertama kali diluncurkan pada tanggal 23 Juli 1972 yang mengorbit hanya sampai dengan tanggal 6 Januari 1978.  Satelit Landsat mengorbit bumi selaras matahari (sunsynchronous). Bersamaan dengan waktu peluncuran ERTS-B tanggal 22 Juli 1975, NASA (National Aeronautic and Space Administration) secara resmi mengubah program ERTS menjadi program Landsat (untuk membedakan dengan program satelit oseanografi ”Seasat” yang telah direncanakan) sehingga ERTS-1 dan ERTS-B menjadi Landsat -1 dan Landsat-2.  Peluncuran Landsat -3 dilakukan pada tanggal 5 Maret 1978.
            Konfigurasi dasar satelit Landsat 1, 2, dan 3 adalah berbentuk kupu-kupu dengan tinggi kurang lebih 3 (tiga) meter, bergaris tengah 1,5 meter dengan panel matahari yang melintang kurang lebih 4 meter.  Berat satelit Landsat kurang lebih 815 kg dan diluncurkan dengan orbit lingkarnya pada ketinggian 920 km. Orbit satelit melalui 90 Kutub Utara dan Kutub Selatan, mengelilingi bumi satu kali dalam 103 menit pada jarak 2.760 km di equator sehingga menghasilkan 14 kali orbit dalam sehari.  Landsat 1, 2, dan 3 diluncurkan ke orbit, melintasi equator pada jam 9.42’ siang hari waktu setempat.

Karakteristik Citra Landsat :

Orbit : Sinkron putaran matahari
Dimensi : Berat 2200 kg, ukuran 2m x 4m
Ketinggian orbit : 880 -940 km
Periode Orbit : 99 menit (14 orbit/hari) melintasi equator pukul 09.42 waktu lokal
Inklinasi : 99, 1°
Resolusi spasial : 79 m x 79 m
Resolusi temporal : 16 hari, 233 lintasan orbit
Daerah Liputan Global : 81° LU sampai 81° LS
Kuantifikasi Data : 8 bit
Luas Liputan per Scene : 185 km x 185 km
Pertampalan : 5% overlap, 7% sidelap



5. SATELIT SPOT (System Pour I’ Observation de la Terre)
SPOT merupakan sistem satelit observasi bumi yang mencitra secara optis dengan resolusi tinggi dan diopersikan di luar angkasa. Sistem satelit SPOT terdiri dari  serangkaian satelit dan stasiun pengontrol denga cangkupan kepentingan yaitu, kontrol dan pemograman satelit, produksi citra, dan distribusinya.
SPOT yang merupakan singkatan dari Satellite Pour l’Observtion de la Terredijalankan oleh Spot Image yang terletak di Prancis. Sistem ini dibentuk olen CNES (Biro Luar Ankgasa milik Prancis) pada tahun 1978.

SPOT dapat digunakan untuk mendeteksi dan meramalkan fenomena-fenomena klimatologi dan oseanografi serta engawasi aktivitas manusia dan fenomena alam. satelit SPOT memiliki keunggulan pada sistem sensornya yang membawa dua sensor identik yang disebut HRVIR (haute resolution visibel infrared). Masing-masing sensor dapat diatur sumbu pengamatanya kekiri dan kekanan memotong arah lintasan satelit merekam sampai 7 bidang liputan.

Karakteristik Citra Satelit SPOT :

Tanggal peluncuran : 3 Mei 2002
Launch vehicle : Ariane 4
Lokasi peluncuran : Guina Space Centre, Kuorou, French Guyana
Kecepatan :  7,4 km/detik – 26, 640 km/jam
Jenis Orbit : Polar, circural, sun synchronous dan berfase.
Ketinggian orbit : 832 Km
Inklinasi : 98,7 °, sun synchronous
Periode Orbit : 101.4 menit
Resolusi spasial : 10m – 20m
Resolusi Temporal : 26 hari
Resolusi Radiometrik : 8 bit



6. SATELIT ALOS (Advanced Land Observing Satellite)
ALOS (Advanced Land Observing Satellite) merupakan satelit penginderaan jauh Jepang yang diutamakan untuk pengamatan daratan menggunakan teknologi satelit JERS-1 (Japanese Earht Resource Satellite-1) dan satelit ADEOS (Advanced Earth Observing Satellite) yang telah ditingkatkan (Gokmaria, 2009). Satelit ALOS dilengkapi dengan tiga sensor inderaja, yaitu sensor PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for Stereo Mapping) dan sensor AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2), serta sebuah sensor gelombang mikro atau radar yaitu PALSAR (Phased Array type L-Band Synthetic Aperture Radar).
            Satelit ALOS diluncurkan pada tanggal 24 januari 2006 dan berhenti beroperasi pada bulan april 2011,  mempunyai 5 misi utama yaitu pegamatan kartografi,  pengamatan regional,  pemantauan bencana alam,  penelitian sumber daya alam dan pengembangan teknologi satelit JERS-1 dan ADEOS.
Karakteristik Citra Satelit ALOS :
Tanggal peluncuran : 24 Januari 2006
Kendaraan peluncur : H – II A
Tempat Peluncuran : Tanegashima Space Center, Jepang
Orbit  : Sinkron putaran matahari
Ketinggian Orbit : 691.65 Km
Inklinasi : 98.16 °
Resolusi Spasial : 2,5 m pankromatic dan 10 m multispektral
Resolusi Temporal : 46 hari
Luas Cakupan Wilayah : 70 x 35 m2

7. SATELIT WORLDVIEW

Satelit WorldView-2 adalah satelit generasi terbaru dari Digitalglobe yang diluncurkan pada tanggal 8 Oktober 2009. Citra Satelit yang dihasilkan selain memiliki resolusi spasial yang tinggi juga memiliki resolusi spectral yang lebih lengkap dibandingkan produk citra sebelumnya. Resolusi spasial yang dimiliki citra satelit WorldView-2 ini lebih tinggi, yaitu : 0.46 m – 0.5 m untuk citra pankromatik dan 1.84 m untuk citra multispektral. Citra multispektral dari WorldView-2 ini memiliki jumlah band sebanyak 8 band, sehingga sangat memadai bagi keperluan analisis-analisis spasial sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Karakteristik Citra Satelit Worldview :

Tanggal peluncuran : 8 Oktober 2009
Lokasi peluncuran : Vandenberg Air Force Base, California
Orbit : Sinkron putaran matahari (Sun Synchronous)
Periode Orbit : 100 menit
Ketinggian Orbit : 770 Km
Resolusi Spasial : 0.46 m panchromatic dan 1.84 m multispectral
Luas Cakupan Wilayah : 65.6 km x 110 km
Perekaman per Orbit : 524 Gigabit

8. SATELIT ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer)
ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer) adalah instrumen/sensor yang dipasang pada satelit Terra, yang diluncurkan pada Desember 1999, merupakan bagian dari NASA Earth Observing System (EOS) yang bekerja sama dengan Jepang. ASTER digunakan untuk pemetaan temperatur permukaan bumi, emisivitas, reflektansi dan elevasi.Platforms  EOS adalah bagian dari NASA Earth Science Enterprise, dimana lembaga ini merupakan lembaga untuk penelitian biosfer, hidrosfer, litosfer dan atmosfer.
         ASTER adalah salah satu citra yang mempunyai resolusi tinggi untuk observasi permukaan lahan, air, dan awan dari panjang gelombang tampak hingga inframerah thermal untuk studi klimatologi, hidrologi, biologi, and geologi. ASTER sendiri terdiri dari tiga subsistem, yaitu: VNIR, SWIR, TIR. VNIR memiliki 3 channel di gelombang visible dan inframerah dekat dengan resolusi spasial 15 m.
Karakteristik Citra Satelit ASTER :
Tanggal Peluncuran : 18 Desember 1999
Lokasi Peluncuran :  Vandenberg Air Force Base, California, USA
Orbit : Sinkron putaran matahari (Sun Synchronous)
Periode Orbit : 98.88 menit
Ketinggian Orbit : 681 Km
Inklinasi : 98.3°
Resolusi Spasial : 15 m  (VNIR), 30 m (SWIR), 90 m(TIR)
Resolusi Temporal : 4 hari

9. SATELIT GEOEYE-1
GeoEye-1 merupakan Satelit pengamat Bumi yang pembuatannya disponsori oleh Google dan National Geospatial-Intelligence Agency (NGA) yang diluncurkan pada 6 September 2008 dari Vandenberg Air Force Base, California, AS. Satelit ini mampu memetakan gambar dengan resolusi gambar yang sangat tinggi dan merupakan satelit komersial dengan pencitraan gambar tertinggi yang ada di orbit bumi saat ini.
Satelit ini mampu menangkap luasan gambar setara 270 ribu mil persegi permukaan bumi setiap harinya. Luasan tersebut setara dengan luas negara bagian Texas Amerika. Kemampuannya menangkap detil gambar sekecil debu tentang bumi dalam kecepatan 17.000mph di orbitnya dan hasil gambar yang diambilnya memberikan gambaran keindahan tentang planet kita ini.

Karakteristik Citra Satelit GeoEye-1 :
Tanggal Peluncuran : 6 September 2008
Lokasi peluncuran : Vandenberg Air Force Base, California
Orbit : Sinkron putaran matahari
Periode Orbit : 98 menit
Ketinggian Orbit : 681 Km
Inklinasi : 98 °
Resolusi Spasial : 0,41 m pankromatik, & I,65 multispektral